Dalam bahasa Arab, al-hayaah “kehidupan” mencakup kehidupan dunia dan akhirat.
Lalu, kembali ke pokok bahasan utama, apa kaitan al-hayaa` “malu” dengan al-hayaah “kehidupan”?
Jawabannya adalah karena orang yang tidak memiliki rasa malu, ia seperti mayat di dunia ini, dan ia benar-benar akan celaka di akhirat.
Orang yang tidak memiliki rasa malu, tidak merasa risih ketika bermaksiat.
Ketika ia mempertontonkan lekuk-lekuk tubuhnya dan memamerkan auratnya, ia tidak merasa bahwa itu adalah perbuatan yang menjijikkan....
Ketika ia berdua-duaan dengan lawan jenis yang bukan mahramnya di tengah keramaian, ia tidak peduli dengan tatapan heran manusia...
Ketika ia melanggar setiap larangan Allah, ia anggap sebagai rutinitas, seolah-olah dia tidak merasa bahwa dirinya hina...
Benar, ia seperti mayat. Ya! apapun yang terjadi di sekitar mayat, tiada kan dapat mendatangkan manfaat baginya...
Maka, benarlah perkataan Ibnul Qayyim
ومن عقوباتها ذهاب الحياء الذي هو مادة الحياة للقلب وهو أصل كل خير وذهاب كل خير بأجمعه
Di antara dampak maksiat adalah menghilangkan MALU yang merupakan SUMBER KEHIDUPAN hati dan inti dari segala kebaikan. Hilangnya rasa malu, berarti hilangnya seluruh kebaikan.
(الجواب الكافي لمن سأل عن الدواء الشافي, hal. 45)
Ini sebagaimana sabda Nabi
الحياء خير كله
/Al-hayaa` khairun kulluhu/
“Rasa malu seluruhnya adalah kebaikan”
(Shahih Muslim: 87)
Oleh karena itu, seseorang yang bermaksiat dan terus menerus melakukannya, dikatakan sebagai orang yang tidak tahu malu. Nabi bersabda
إن مما أدرك الناس من كلام النبوة الاولى اذا لم تستح فاصنع ماشئت
“Sesungguhnya termasuk yang pertama diketahui manusia dari ucapan kenabian adalah jika kamu tidak malu, berbuatlah sesukamu!”
(Shahih Bukhari: 5769)
Dalam menjelaskan maksud hadits di atas, Ibnul Qayyim berkata,
والمقصود ان الذنوب تضعف الحياء من العبد حتى ربما انسلخ منه بالكلية حتى ربما انه لايتأثر بعلم الناس بسوء حاله ولا باطلاعهم عليه بل كثير منهم يخبر عن حاله وقبح ما يفعله والحامل على ذلك انسلاخه من الحياء وإذا وصل العبد الى هذه الحالة لم يبق في صلاحه مطمع
Maksudnya, dosa-dosa akan melemahkan rasa malu seorang hamba, bahkan bisa menghilangkannya secara keseluruhan. Akibatnya, pelakunya tidak lagi terpengaruh atau merasa risih saat banyak orang mengetahui kondisi dan perilakunya yang buruk. Lebih parah lagi, banyak di antara mereka yang menceritakan keburukannya. Semua ini disebabkan hilangnya rasa malu. Jika seseorang sudah sampai pada kondisi tersebut, tidak dapat diharapkan lagi kebaikannya.
(الجواب الكافي لمن سأل عن الدواء الشافي, hal. 45)
Akhirnya, saya akhiri risalah ini dengan mengutip lagi perkataan Ibnul Qayyim
ومن استحي من الله عند معصيته استحى الله من عقوبته يوم يلقاه ومن لم يستح من الله تعالى من معصيته لم يستح الله من عقوبته
Barangsiapa malu terhadap Allah saat mendurhakaiNya, niscaya Allah akan malu menghukumnya pada hari pertemuan dengan-Nya.
Demikian pula, barangsiapa tidak malu mendurhakaiNya, niscaya Dia tidak malu untuk menghukumnya.
Referensi:
Kitabالجواب الكافي لمن سأل عن الدواء الشافي yang juga dikenal dengan nama الداء والدواء, karya محمد بن أبي بكر أيوب الزرعي أبو عبد الله (yang dikenal dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah). Penerbit: دار الكتب العلمية - بيروت (via software المكتبة الشاملة).
Senin, 4 januari 2010
Seusai Shalat Shubuh di Masjid Al-Ashri
Abu Muhammad Al-‘Ashri
No comments:
Post a Comment